Senin, 12 November 2007

Merintis Terapi Autis untuk Dhuafa

Terapi autis biaya murah, bahkan gratis, bagi dhuafa, mungkinkah? Deka dan Ulfi telah mencobanya.Suara riuh-rendah di ruangan itu. Lima orang anak meloncat-loncat di atas sebuah kasur pegas yang digeletakkan di lantai. ''Ini Sarah, ini Anna,'' ujar Bu Henny sambil membimbing Sarah agar mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Saat itu, Sarah (2,5 tahun) tengah menunggu waktu terapi. Sambil menunggu, ia diperkenankan bermain-main dengan temannya, Anna (3), dan beberapa anak di lingkungan itu. Sarah mengalami kelambatan bicara sementara Anna didiagnosis menyandang spektrum autis. Hampir tiga bulan ini mereka mengikuti program terapi di Yayasan Cahaya Keluarga Kita (YCKK).

Tak mudah mencari tempat itu. Berada di sebuah jalan kecil di Kampung Rawalele, Jatimakmur, Pondok Gede, Bekasi. ''Untung ada tempat terapi seperti ini,'' ungkap Sari, ibu Sarah, yang tengah menunggu di ruang tamu. Sari, seperti para orang tua anak penyandang autisme lainnya, tak hanya mengalami kesulitan mengurus sang anak. Tapi, kesulitan mengupayakan terapi dan obat-obatannya. Dalam satu bulan, rata-rata ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 1 juta. Padahal, sejak sang anak didiagnosis autis, Sari terpaksa meninggalkan pekerjaannya. Ditambah lagi, suaminya menderita alzheimer.

Termiskinkan oleh terapi Hal serupa dirasakan Sri, ibu Anna. Ibu muda yang gemar membaca ini menemukan anaknya memiliki ciri-ciri autis. Hasil dari pemeriksaan dokter anak dan psikiater memperkuat dugaan itu. Dan, Anna pun harus diterapi. Tempat terapi terdekat dari rumahnya di kawasan Bekasi, Sri dan suaminya harus mengeluarkan Rp 1.000.000 sebulan. Tapi, sampai kapan Anna harus terapi? Pasalnya, gaji suami yang berprofesi sebagai satpam tak sebesar pengeluaran untuk terapi sang anak tiap bulannya.

Kisaran biaya terapi di Jakarta Rp 50.000 hingga Rp 150.000 per jam. Besarnya biaya terapi ini bisa membuat orang tua tidur tak nyenyak. ''Kadangkala keluarga menjadi termiskinkan dengan besarnya biaya terapi anak,'' kata Deka. Itulah sebabnya, bersama istrinya, Laeli Ulfiati, ia dan dua terapis muda, Isti Munawaroh, Henny Ma'rifah mulai merintis, membangun tempat terapi anak autis dan gangguan lainnya untuk kalangan dhuafa.

Sejak dibuka pada Desember 2004, Sari dan Sri mendaftarkan anak mereka di YCKK. Untuk orang tua seperti mereka, sebenarnya yayasan ini tak memungut bayaran. Namun, mereka merasa tak nyaman bila tak memberi sumbangan apa pun. Mereka diperkenankan memberi infak secara sukarela dalam bentuk apa pun.''Ada yang mi instan, air mineral, alat kantor, apa pun,'' kata Deka Kurniawan, pembina YCKK. ''Semua pemasukan kami laporkan di milis. Pengeluaran sekecil-kecilnya kami laporkan, orang tua bisa melihat langsung buku catatan.''

Dimudahkan
Sebenarnya, autisme adalah dunia baru bagi Deka dan Ulfi. Dua anak mereka yang masih balita bukan penyandang gangguan itu. Tapi, suatu malam, Ulfi bercerita tentang terapi autisme yang didengarnya dari Isti dan Henny, teman pengajiannya. ''Ada orang miskin yang ingin terapi tetapi tidak bisa karena tak sanggup membayar,'' ujar Deka, menceritakan, ''Saya sampai menangis. Bagaimana kalau itu terjadi pada anak kita.''

Mantan aktivis kampus dan organisasi PII, HMI, dan KAMMI ini tergerak menerjuni masalah ini. Ia membayangkan suatu tempat terapi yang memberi fasilitas murah hingga gratis untuk para dhuafa. Meskipun tak punya modal memadai, ia tak surut.Dari diskusi bersama Isti dan Henny, Deka baru tahu, keperluan awal peralatan butuh biaya sampai Rp 20 juta. Apa yang bisa dilakukan? Ulfi amat mendukung niat sang suami.

Rumah kontrakan mereka di kawasan Bekasi itu, menurut Ulfi, cukup luas jika sebagian dijadikan tempat terapi.Deka lalu berkelana di dunia maya, mempelajari banyak tentang autis. Di sana, ia bertemu dengan sebuah milis, Putra Kembara. Dari, sana ia belajar banyak tentang autisme. Deka pun mengungkap gagasannya tentang pelayanan terapi bagi anak dhuafa. Banyak respons yang diterimanya.Ada yang menyumbangkan satu lemari peralatan terapi, satu perangkat komputer, ada juga yang memberikan uang sebesar Rp 1.000.000. ''Yang mengharukan, ada yang mengirim dari Australia sebesar Rp 500.000,'' tuturnya.

Bersamaan dengan masuknya dana dan sumbangan barang ini, Deka harus menerima kenyataan dikeluarkan dari milis yang membuat dia melek autisme ini. ''Anggota milis dilarang menggalang dana,'' ungkap lulusan IAIN Syarif Hidayatullah ini. Tapi, tekad Deka dan Ulfi tidak surut. Secara pribadi, mereka mengumpulkan uang untuk memulai pembuatan tempat terapi ini. Bapak muda yang bekerja di majalah bulanan Hidayatullah ini, mengambil pekerjaan sebagai juru foto untuk acara kunjungan Torey Hayden ke Indonesia beberapa bulan lalu.

''Alhamdulillah, langkah kami dimudahkan,'' kata Deka, yang sebelum pindah ke Bekasi ini aktif di Partai Keadilan Sejahtera di Gunung Putri, Bogor. Ia juga mengajak Henny dan Isti untuk aktif sebagai terapis para dhuafa ini. Dua terapis ini pun memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya. ''Saya ingin melakukan sesuatu dalam hidup ini, bukan yang itu-itu saja,'' kata Isti menjelaskan alasannya. Begitu lembaga YCKK dibentuk akhir tahun lalu, Isti dan Henny resmi bekerja di sana. Di tempat baru ini, mereka sekadar dapat imbalan dengan kompensasi tempat tinggal dan makan bersama keluarga pasangan Deka dan Ulfi.

Memberi harapan
Tentu saja, tempat terapi YCKK tak seperti pusat terapi dengan biaya besar. ''Sekarang, peralatan kami memadai,'' kata Isti. Meski begitu, ada peralatan yang belum ada misalnya, panjatan-panjatan dan trampolin. Yang penting, lanjut dia, bisa memaksimalkan yang ada. Tanpa trampolin, anak-anak bisa meloncat-loncat di atas kasur pegas.

Seperti pada tempat terapi lainnya, mereka membuat rencana program tiga bulanan untuk masing-masing anak. ''Tentu saja kami punya target,'' kata Isti. Ada lima anak kategori dhuafa yang kini dalam penanganan Henny dan Isti. Semua mereka tangani, termasuk mengepel lantai bila ada di antara anak-anak itu mengompol. ''Capek fisik, karena itu harus punya kekuatan karena anak-anak itu kekuatannya besar,'' kata Isti, ''Kami menerapi sesuai kondisi anak yang membuat anak enjoy.''

Untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan, dua wanita muda ini berburu buku dan bacaan. Selain itu, Henny yang juga lulusan diploma terapi Fakultas Kedokteran UI mengungkap, mereka juga berbagi pengetahuan dengan sesama terapis di lembaga lain. Kini, YCKK juga mengupayakan terapi dua anak di luar Jakarta. Yayasan ini membiayai terapi bagi seorang anak penjual nasi di Semarang. Di sebuah kampung terpencil di Cileungsi, YCKK mendatangkan terapis relawan untuk seorang anak berumur empat tahun.

Tak hanya ingin memberi layanan bagi kaum dhuafa. Deka juga ingin berkampanye dan ikut melakukan advokasi tentang autisme bagi masyarakat luas. Ia boleh berbangga hati mendapat perhatian Hidayat Nur Wahid, ketua MPR RI, yang sempat berkunjung ke pusat terapinya belum lama ini. Deka optimistis, pusat terapi yang dikelolanya bisa berkembang. ''Banyak yang dukung,'' katanya,''Ini perjuangan.''


copas dari Pak Dwinu
Gambar diambil dari Totopicture
Portalnya bisa dikunjungi disini


Mba Henny.. Mba Isti..
Desi kangenn